Selasa, 28 Mei 2013

SPEI

Sejarah Peradaban Islam

PENDAHULUAN

Sepeninggal Ali bin Abu Thalib gubernur Syam tampil sebagai penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal kedaulatan Bani Umayah. Keberhasilan Muawiyah dalam meraih jabatan khalifah dan membangun pemerintahan Bani Umayah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi di Shiffin dan terbunuhnya Khalifah Ali saja, melainkan merupakan hasil akhir dari peristiwa-peristiwa politik yang dihadapinya dan karir politiknya yang cukup cemerlang.

Jika dirunut secara kronologis, keberhasilan Muawiyah dilatar-belakangi oleh beberapa faktor dan peristiwa politik sebagai berikut.

Pertama, sejak masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab, kepribadian dan kematangan karir politiknya sudah nampak. Pada masa itu, ia diangkat menjadi gubernur Syam menggantikan Abu Ubaidah dan saudaranya, Yazid bin Muawiyah, yang meninggal dunia akibat serangan wabah penyakit yang sangat ganas. Dengan usianya yang masih muda, dia adalah politikus berpengalaman, dia tahu segala liku-liku persoalan. Karena itu, kedudukan Muawiyah sebagai gubernur ini terus bertahan hingga kekhalifahan Usman bin Affan dan awal kekhalifahan Ali bin Abu Thalib.

Kedua, pada awal pemerintahan Ali bin Abu Thalib, Muawiyah diminta untuk meletakkan jabatan, tetapi ia menolaknya. Bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali dan memanfaatkan peristiwa berdarah yang menimpa Usman bin Affan untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Usman, jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya.

Ketiga, desakan Muawiyah tersebut mengakibatkan terjadinya pertempuran sengit antara pihaknya dan pihak Ali sebagai khalifah di kota tua Shiffin yang berakhir dengan proses tahkim (arbitrase) pada tahun 37 H.

Dengan catatan kronologi di atas, Muawiyah pun mampu mengambil alih kuasa kekhalifahan dari tangan pendukung Ali dengan langkah-langkah yang menunjukkan bahwa dia-lah politikus hebat, cakap, dan berpengalaman. Meskipun tak bisa dipungkiri juga akan segala modus kelicikan yang beliau lakukan demi sebuah tampuk kepemimpinan.

PEMBAHASAN

PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA DINASTI BANI UMAYYAH

A. SEJARAH BERDIRINYA DINASTI UMAYYAH (AMAWIYAH)

1. Asal Mula Bani Umayyah

Nama Daulah Amawiyah tidak lain adalah Bani Umayyah. Daulah Amawiyah berasal dari nama Umayyah ibnu ‘Abdi Syam ibnu ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin-pemimipin kabilah Quraisy dizaman Jahiliyah. Umayyah senantiasa bersaing dengan pamannya, Hasyim ibnu ‘Abdi Manaf. Persaingan ini terjadi karena sama-sama ingin merebut pengaruh (kehormatan) di tengah-tengah masyarakatnya. Pada waktu itu, siapa yang memiliki pengaruh paling besar, maka ia langsung diangkat menjadi pemimpin di tengah-tengah masyarakat. Begitulah persaingan antara keduanya terus berlanjut hingga saling mengalahkan. Jadi tak mengherankan bila dalam persaingan ini berujung pada permusuhan.

Dalam persaingan tersebut, Umayyah memperoleh kemenangan dan dapat merebut kekuasaan. Sebab ia merupakan salah satu kabilah yang sangat terhormat dan disegani, mempunyai banyak harta kekayaan dan juga banyak memiliki keturunan sepuluh orang putra yang kesemuanya terpandang. Ketiga unsur ini merupakan potensi besar yang membawa keturunan Umayyah menjadi penguasa bangsa Arab Quraisy saat itu.

Setelah agama Islam datang hubungan antara Bani Umayyah dengan saudara-saudara sepupu mereka Bani Hasyim semakin tegang. Persaingan-persaingan untuk merebut kehormatan dan kekuasaan tadi berubah menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani Umayyah dengan tegas menentang Rasulullah saw dalam mengembangkan agama Islam. Sebaliknya Bani Hasyim menjadi penyokong dan pelindung Rasulullah saw, baik mereka yang sudah masuk Islam ataupun yang belum masuk Islam sama sekali. Pada waktu Rasulullah saw bersama ribuan kaum muslimin menduduki kota Mekkah, pada saat itulah Bani Umayyah menyatakan masuk Islam dan bergabung bersama Rasulullah.

Walaupun Bani Umayyah pernah memusuhi Rasulullah saw dengan tindakannya yang keras, namun setelah masuk Islam mereka dengan segera dapat menunjukkan semangat kepahlawanan yang sulit dicari tandingannya. Mereka telah banyak sekali mencatat prestasi dalam penyiaran agama Islam, antara lain peperangan yang dilancarkan dalam memerangi orang murtad, orang-orang yang mengaku dirinya nabi atau rasul, dan orang yang enggan membayar zakat (ketika Umayyah bergabung dengan khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq).

2. Proses dan sebab-sebab berdirinya Dinasti Bani Umayyah

Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.

Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.

Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Syiria dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.

Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.

Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin 38 H/657 M. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.

Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya.

Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.

Muawiyah mengecam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum.

Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daeraha seperti Kuffah, Bashrah, dan Mesir.

Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.

Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan tersebut.

Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan dan Husain serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah.

Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.

Kemelut yang di hadapi khalifah Utsman bin Affan sebenarnya telah tercium jauh-jauh hari sebelumnya. Bahkan dengan perantara kurir bernama Mussawir bin Makharramah, pesan dari khalifah Utsman bin Affan ini tidak dilaksanakan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan yang datang dikawal oleh dua orang kepercayaannya yaitu Muawiyah bin Khudaj dan Muslim bin Uqbah serta menyarankan agar khalifah Utsman pindah ke Syam dengan alasan karena ia akan di kelilingi oleh orang-orang Muawiyah yang setia.

Usulan yang diajukan Muawiyah ini tidak diterima oleh khalifah Utsman bin Affan yang berpendapat bahwa Madinah adalah ibukota kekhalifahan dan masih banyak para shahabat yang setia serta disana pula ada makam Nabi.

Sebelum menguraikan sejarah sejarah lebih lanjut tentang prose terbentuknya Dinasti Umayyah ini, terlebih dahulu marilah kita tengok proses terbentuknya kejadian yang menyebabkan proses terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga setelah wafatnya Rasulullah saw.

Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.

Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat.

Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas system pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segeras menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.

Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan semakin rumit dan kompleks , sehinggatidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah,sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat mengenaskan.

Meninggalnya khalifah Utsman bin Affan pada tahun 35 H/656 M dan terpilihnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah baru sangat mengguncangkan keluarga Bani Umayyah. Mereka berusaha mencari informasi siapa pembunuh Utsman sebenarnya dan mereka akan menuntut kematian khalifah dengan cara melakukan balas dendam.

Akhirnya mereka mendapat informasi bahwa orang yang patut di curigai membunuh khalifah Utsman bin Affan adalah Muhammad bin Abu Bakar. Mereka menuntut khalifah Ali bin Abi Thalib agar Muhammad bin Abu Bakar segera di tangkap dan di adili. Tuntutan itu tentu saja tidak segera dikabulkan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib, karena tuntutan itu tidak jelas maka khalifah Ali bin Abi Thalib menolak tuntutan yang di ajukan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.

Tuduhan yang di arahkan kepada Muhammad bin Abu Bakar dan khalifah Ali bin Abi Thalib sebenarnya menjatuhkan kekuasaan khalifah yang sah. Keadaan ini jelas sangat jauh berbeda dengan gaya kepemimpina khalifah Ali bin Abi Thalib yang tegas, lugas, dan jujur.

B. USAHA UNTUK MEMPEROLEH KEKUASAAN

Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib karena terbunuh oleh kelompok khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam pada tahun 661 M menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali. Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.

Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib

Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam.

Perdebatan apapun yang terjadi pada saat itu, yang jelas realitas politik menunjukkan bahwa sepeninggalan Ali bin Abi Thalib, sebagian penduduk besar Kuffah, Bashrah dan Madinah sudah melakukan sumpah setia.

Inilah yang menjadi puncak-puncak persoalan politik Islam setelah kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Muawiyah bin Abi Sufyan yang tidak menyayangi keputusan pengangkatan Hasan bin Ali segera menyusun kekuatan khalifah Hasan.

Mendengar rencana yang telah dilakukan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan tersebut, maka Qays bin Sa’ad dan Abdullah bin Abbas menyarankan kepada Hasan untuk melakukan penyerangan ke Damaskus. Sebelum pasukan Muawiyah menyerang, stategi yang dilakukan Muawiyah yang melakukan urat saraf (psywar) ini memang sangat efektif. Menurut sejarawan Muslim Al-Thabari, karena kecewanya para pendukung Hasan atas perhentian perang menyebabkan mereka melakukan tindakan kekerasan dengan menyerbu masuk kerumah Hasan dan merusak kehormatan serta merampas harta bendanya.

Untuk mengetahui persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabiyang berisi pesan perdamaian.

Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antara lain:

1. Muawiyah menyerahkan harta Baitul mal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.

2. Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalin besertas keluarganya.

3. Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.

4. Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.

5. Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.

Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.

Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.

Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka.

C. GAYA DAN CORAK KEPEMIMPINAN MUAWIYAH BIN ABI SUFYAN

Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Hal itu, karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsif dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.

Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan system kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi dada masa-masa sebelumnya. Sistem pemerintahan yang diterapkan Muawiyah meniru sistem pemerintahan kerajaan Romawi dan Persia yang mewariskan.

Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.

Selama masa pemerintahan demokratis Khulafaur Rasyidin, para khalifah selalu di dampingi oleh dewan penasihat yang terdiri dari para pemuka Islam. Seluruh kebijakan yang penting selalu di musyawarahkan secara terbuka. Bahkan rakyat biasa mempunyai hak untuk menyampaikan pertimbangan dalam pemerintahan. Kebebasan berpendapat dan kebebasan menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah merupakan corak yang sangat menonjol dalam pola pemerintahn Khulafaur Rasyidin.

Tradisi musyawarah dan menyampaikan pendapat ini tidak berlaku dalam pemerintahan Bani Umayyah. Dewan permusyawaratan dan dewan penasihat tidak berfungsi secara baik. Kebebasan melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah tidak diperbolehkan. Hal itu terjadi karena penguasa Bani Umayyah benar-benar telah menganggap dirinya sebagai raja yang tidak dipilih dan diangkat oleh rakyat dan rakyat tidak dibolehkan melakukan kritik.

Ajaran dan usaha nabi Muhammad saw yang telah menghapuskan fanatisme kesukuan tidak dapat dipertahankan pada masa Bani Umayyah. Mereka memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada kelompok tersebut dan menutup kesempatan kelompok lain.

Pada masa pemerintahan Khulafaur arasyidin sangat serius dan peduli terhadap tanggung jawab dan tugas mereka. Mereka sering keluar malam untuk melihat keadaan masyarakat yang sebenarnya. Mereka menjalani hidup dan tugas-tugas sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Mereka tidak membangun gedung/istana megah. Tidak ada pengawalan khusus bagi para khalifah. Sementara para penguasa Bani Umayyah hidup dalam kemewahan dan dijaga ketat oleh pengawal, karena merka khawatir keamanan diri mereka.

Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, diman setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:

1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)

2. Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)

3. Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)

4. Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)

5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)

6. Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)

7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)

8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)

9. Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)

10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)

11. Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)

12. Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)

13. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)

14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)

C. PRESTASI DINASTI BANI UMAYYAH

1. Perkembangan bangunan berupa fisik

a. Kordova

Kota ini terletak di sebelah selatan lereng gunung Sierre de Cordova dan di tepi sungai Guadalquivir. Sebelum Spanyol ditaklukkan oleh tentara Islam tahun 711 M, Kordova adalah ibukota kerajaan Kristen Visigoth, sebelum dipindahkan ke Toledo. Penaklukan Spanyol oleh pasukan Islam terjadi pada masa khalifah Al-Wahid banal-Malik, di bawah pimpinan Tarikh bin Ziyad dan Musa bin Nusair. Di bawah pemerintahan kerajaan Visigoth, Kordova yang sebelumnya makmur menjadi mundur. Kemakmurannya bangkit kembali di masa kekuasaan Islam. Pada tahun 756 M, kota ini menjadi ibu kota dan pusat pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, setelah Bani Umayyah di Damaskus jatuh ke tangan Bani Abbas tahun 750 M. Penguasa Bani Umayyah pertama di Spanyol adalah Abd Al-Rahman Al-Dakili. Kekuasaan Bani Umnayyah di Andalusia ini berlangsung dari tahun 756 M sampai 1031 M.

Pada zaman pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, Kordova menjadi pusat ilmu pengetahuan. Di kota itu berdiri Universitas Kordova. Banyak ilmuan dari dunia Islam bagian timur yang tertarik untuk mengajar di universitas ini. Di samping itu, di kota ini terdapat sebuah perpustakaan besar yang mempunyai koleksi buku kira-kira 400.000 judul. Daftar bagian dari buku-buku itu terkumpul dalam 44 jilid buku. Kemajuan ilmu pengetahuan disana tidak terlepas dari dua orang khalifah pencinta ilmu, Abd Al-Rahman Al-Nashir dan anaknya Al-Hakam. Yang disebut terakhir ini memerintahkan untuk mencari dan membeli buku-buku ilmu pengetahuan, baik klasik maupun kontemporer. Bahkan, ia ikut langsung dalam pengumpulan buku itu. Ia menulis surat kepada penulis-penulis terkenal untuk mendapatkan karyanya dengan imbalan yang tinggi. Pada masanyalah tercapai apa yang dinamakan masa keemasan ilmu pengetahuan dan sastra Spanyol Islam.

b. Granada

Kota Granada terletak di tepi sungai Genil di kaki gunung Sierra Nevada, berdekatan dengan pantai laut mediterania (Laut Tengah). Granada semula adalah tempat tinggal Liberia, kemudian menjadi kota orang Romawi dan baru terkenal setelah ada di tangan orang Islam. Kota ini berada di bawah kekuasaan Islam hampir bersamaan dengan kota-kota lain di Spanyol yang ditaklukkan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Tarikh bin Ziyad dan Musa bin Nushair tahun 711 M. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, kota ini disebut Andalusia Atas.

Pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Andalusia, Granada mengalami perkembangan pesat. Setelah Bani Umayyah mengalami kemunduran tahun 1031 M, dalam jangka waktu 60 tahun, Granada diperintah oleh dinasti setempat, yaitu dinasti Zirids. Setelah itu Granada jatuh kebawah pemerintahan Al-Murabithun, sebuah dinasti Barbar dari Afrika Utara pada tahun 1090 M. Al-Murrabithun berkuasa disana sampai tahun 1149 M. Pada masa pemerintahannya, banyak istana dibangun disana.

2. Perkembangan Politik

a. Kemajuan-kemajuan yang dicapai bidang politik

b. Kemajuan-kemajuan yang dicapai di bidang ilmu pengetahuan

1) Kemajuan Intelektual

2) Kemajuan di bidang Filsafat

a) Kemajuan dalam ilmu agama yang disebut Al-Ulum Islamiyah

-Ilmu qiraat

-Ilmu Tafsir

-Ilmu Hadits, dll

b) Kemajuan dalam ilmu pengetahuan umum yang disebut Al-Ulumud Dakhliyah

-Ilmu Kimia

-Ilmu Kedokteran

-Ilmu Bumi (geografi)

-Ilmu Astonomi

c) Bidang Seni

-Seni Sastra

-Seni Lukis

-Seni Ukir

-Seni Pahat, dll

D. KERUNTUHAN BANI UMAYAH

1. Faktor Internal

Beberapa alasan mendasar yang sangat berpengaruh terhadap keruntuhan Dinasti Umayah adalah karena kekuasaan wilayah yang sangat luas tidak dibarengi dengan komunikasi yang baik, sehingga menyebabkan suatu kejadian yang mengancam keamanan tidak segera diketahui oleh pusat.

Selanjutnya mengenai lemahnya para khalifah yang memimpin. Di antara empat belas khalifah yang ada, hanya beberapa saja khalifah yang cakap, kuat, dan pandai dalam mengendalikan stabilitas negara. Selain itu, di antara mereka pun hanya bisa mengurung diri di istana dengan hidup bersama gundik-gundik, minum-minuman keras, dan sebagainya.

Situasi semacam ini pun mengakibatkan munculnya konflik antar golongan, para wazir dan panglima yang sudah berani korup dan mengendalikan negara.

2. Faktor Eksternal

Intervensi luar yang berpotensi meruntuhkan kekuasaaan Dinasti Umayah berawal pada saat Umar II berkuasa dengan kebijakan yang lunak, sehingga baik Khawarij maupun Syiah tak ada yang memusuhinya. Namun, segala kelonggaran kebijakan-kebijakan tersebut mendatangkan konsekuensi yang fatal terhadap keamanan pemerintahannya. Semasa pemerintahan Umar II ini, gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh Bani Abbas mampu berjalan lancar dengan melakukan berbagai konsolidasi dengan Khawarij dan Syiah yang tidak pernah mengakui keberadaan Dinasti Umayah dari awal. Setelah Umar II wafat, barulah gerakan ini melancarkan permusuhan dengan Dinasti Umayah.

Gerakan yang dilancarkan untuk mendirikan pemerintahan Bani Abbasyiah semakin kuat. Pada tahun 446 M mereka memproklamirkan berdirinya pemerintah Abbasyiah, namun Marwan menangkap pemimpinnya yang bernama Ibrahim lalu dibunuh. Setelah dibunuh, pucuk gerakan diambil alih oleh seorang saudaranya bernama Abul Abbas as-Saffah yang berangkat bersama-sama dengan keluarganya menuju Kuffah. Abbasyiah berkewajiban untuk menundukkan dua kekuasaan Bani Umayah yang besar, yang satu dipimpin oleh Marwan bin Muhammad dan satu lagi oleh Yazid bin Umar bin Hubairah yang berpusat di Wasit. Kedudukan kerajaan Abbasyiah tidak akan tegak berdiri sebelum khalifah-khalifah Umayah tersebut dijatuhkan terlebih dahulu.

As-Saffah mengirim suatu angkatan tentara yang terdiri dari laskar pilihan untuk menentang Marwan, dan mengangkat pamannya Abdullah bin Ali untuk memimpin tentara tersebut. Antara pasukan Abdullah bin Ali dan Marwan pun bertempur dengan begitu sengitnya di lembah Sungai Dzab, yang sampai akhirnya pasukan Marwan pun kalah pada pertempuran itu.

Setelah kekalahan itu, Marwan pun tak kuasa lagi menyusun kekuatan, sehingga negeri Syam pun satu demi satu jatuh ke tangan Abbasyiah. Ketika Syam ditaklukkan, Marwan melarikan diri ke Palestina dan berujung pada mautnya di daratan Mesir. Marwan tewas dipenggal kepalanya oleh pasukan Abbasyiah lalu dibawanya ke hadapan Khalifah Abu Abbas as-Saffah lantas bersujud.

Sepeninggal Marwan, maka benteng terakhir Dinasti Umayah yang diburu Abbasyiah pun tertuju kepada Yazid bin Umar yang berkududukan di Wasit. Namun, pada saat itu Yazid mengambil sikap damai setelah mendengar berita kematian Marwan. Di tengah pengambilan sikap damai itu lantas Yazid ditawari jaminan keselamatan oleh Abu Ja’far al-Mansur yang akhirnya Yazid pun menerima baik tawaran tersebut dan disahkan oleh as-Saffah sebagai jaminannya. Namun, ketika Yazid dan pengikut-pengikutnya telah meletakkan senjata, Abu Muslim al-Khurasani menuliskan sesuatu kepada as-Saffah yang menyebabkan Khalifah Bani Abbasyiah itu membunuh Yazid beserta para pengikutnya.

PENUTUP

KESIMPULAN

Dengan latar belakang keluarga Umayah yang sangat lihai dalam urusan politik pada masa jahiliyah, keberadaan Muawiyah sebagai khalifah pertama Dinasti Umayah di tengah-tengah masyarakat muslim kala itu sangatlah banyak menuai berbagai kecaman dari berbagai kalangan di bawahnya.

Beberapa golongan dengan terang-terangan menentang dan tidak mengakui kedaulatan Bani Umayah ini sebagai kedaulatan yang Islami.

Hal itu terbukti dengan kinerja Muawiyah dalam membangun Dinastinya yang mendiskreditkan keberadaan Syiah (pengikut Ali), dengan mengambil sebuah tindakan untuk membunuh mereka semua, sekalipun masih dicurigai. Ditambah lagi dengan ulah khalifah penerusnya yang kebanyakan tak bermoral.

Terhitung hanyalah beberapa khalifah saja yang berkompeten dalam memangku jabatan khalifah yang disematkan kepada mereka. Dengan kecakapan, kepandaian, dan kepiawaian mereka dalam memimpin, mereka mampu menghadirkan berbagai kemajuan dengan sebuah pencapaian gemilang yang sangat berarti bagi perkembangan Islam waktu itu.

Namun, sikap amoral yang ditunjukan oleh khalifah-khalifah yang tak bertanggung jawab dalam mengemban amanat, membuat kedaulatan Bani Umayah berada pada ambang kehancuran. Ketidak sigapan sistem keamanan menangkal intervensi luar, memudahkan berbagai serangkaian usaha untuk melancarkan kudeta. Sampai akhirnya Dinasti Umayah pun jatuh ditumpas Abbasyiah.

DAFTAR PUSTAKA

Dedi Supriadi, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: CV Pustaka Setia

Amrullah, Kusyana, 1995, Sejarah Kebudayaan Islam, Bandung: CV Armico

Tatang Ibrahim. 2008. Sejarah Kebudayaan Islam. Bandung: CV Armico

http://id.wikipedia.org

0 komentar:

Posting Komentar