Sejarah Peradaban Islam
PENDAHULUAN
Sepeninggal Ali bin Abu Thalib gubernur Syam tampil sebagai penguasa
Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal kedaulatan Bani
Umayah. Keberhasilan Muawiyah dalam meraih jabatan khalifah dan
membangun pemerintahan Bani Umayah bukan hanya akibat dari kemenangan
diplomasi di Shiffin dan terbunuhnya Khalifah Ali saja, melainkan
merupakan hasil akhir dari peristiwa-peristiwa politik yang dihadapinya
dan karir politiknya yang cukup cemerlang.
Jika dirunut secara kronologis, keberhasilan Muawiyah dilatar-belakangi
oleh beberapa faktor dan peristiwa politik sebagai berikut.
Pertama, sejak masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab, kepribadian dan
kematangan karir politiknya sudah nampak. Pada masa itu, ia diangkat
menjadi gubernur Syam menggantikan Abu Ubaidah dan saudaranya, Yazid bin
Muawiyah, yang meninggal dunia akibat serangan wabah penyakit yang
sangat ganas. Dengan usianya yang masih muda, dia adalah politikus
berpengalaman, dia tahu segala liku-liku persoalan. Karena itu,
kedudukan Muawiyah sebagai gubernur ini terus bertahan hingga
kekhalifahan Usman bin Affan dan awal kekhalifahan Ali bin Abu Thalib.
Kedua, pada awal pemerintahan Ali bin Abu Thalib, Muawiyah diminta untuk
meletakkan jabatan, tetapi ia menolaknya. Bahkan ia tidak mengakui
kekhalifahan Ali dan memanfaatkan peristiwa berdarah yang menimpa Usman
bin Affan untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali dengan membangkitkan
kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi
pembunuhan Usman, jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh
yang sesungguhnya.
Ketiga, desakan Muawiyah tersebut mengakibatkan terjadinya pertempuran
sengit antara pihaknya dan pihak Ali sebagai khalifah di kota tua
Shiffin yang berakhir dengan proses tahkim (arbitrase) pada tahun 37 H.
Dengan catatan kronologi di atas, Muawiyah pun mampu mengambil alih
kuasa kekhalifahan dari tangan pendukung Ali dengan langkah-langkah yang
menunjukkan bahwa dia-lah politikus hebat, cakap, dan berpengalaman.
Meskipun tak bisa dipungkiri juga akan segala modus kelicikan yang
beliau lakukan demi sebuah tampuk kepemimpinan.
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA DINASTI BANI UMAYYAH
A. SEJARAH BERDIRINYA DINASTI UMAYYAH (AMAWIYAH)
1. Asal Mula Bani Umayyah
Nama Daulah Amawiyah tidak lain adalah Bani Umayyah. Daulah Amawiyah
berasal dari nama Umayyah ibnu ‘Abdi Syam ibnu ‘Abdi Manaf, yaitu salah
seorang dari pemimpin-pemimipin kabilah Quraisy dizaman Jahiliyah.
Umayyah senantiasa bersaing dengan pamannya, Hasyim ibnu ‘Abdi Manaf.
Persaingan ini terjadi karena sama-sama ingin merebut pengaruh
(kehormatan) di tengah-tengah masyarakatnya. Pada waktu itu, siapa yang
memiliki pengaruh paling besar, maka ia langsung diangkat menjadi
pemimpin di tengah-tengah masyarakat. Begitulah persaingan antara
keduanya terus berlanjut hingga saling mengalahkan. Jadi tak
mengherankan bila dalam persaingan ini berujung pada permusuhan.
Dalam persaingan tersebut, Umayyah memperoleh kemenangan dan dapat
merebut kekuasaan. Sebab ia merupakan salah satu kabilah yang sangat
terhormat dan disegani, mempunyai banyak harta kekayaan dan juga banyak
memiliki keturunan sepuluh orang putra yang kesemuanya terpandang.
Ketiga unsur ini merupakan potensi besar yang membawa keturunan Umayyah
menjadi penguasa bangsa Arab Quraisy saat itu.
Setelah agama Islam datang hubungan antara Bani Umayyah dengan
saudara-saudara sepupu mereka Bani Hasyim semakin tegang.
Persaingan-persaingan untuk merebut kehormatan dan kekuasaan tadi
berubah menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani Umayyah dengan tegas
menentang Rasulullah saw dalam mengembangkan agama Islam. Sebaliknya
Bani Hasyim menjadi penyokong dan pelindung Rasulullah saw, baik mereka
yang sudah masuk Islam ataupun yang belum masuk Islam sama sekali. Pada
waktu Rasulullah saw bersama ribuan kaum muslimin menduduki kota Mekkah,
pada saat itulah Bani Umayyah menyatakan masuk Islam dan bergabung
bersama Rasulullah.
Walaupun Bani Umayyah pernah memusuhi Rasulullah saw dengan tindakannya
yang keras, namun setelah masuk Islam mereka dengan segera dapat
menunjukkan semangat kepahlawanan yang sulit dicari tandingannya. Mereka
telah banyak sekali mencatat prestasi dalam penyiaran agama Islam,
antara lain peperangan yang dilancarkan dalam memerangi orang murtad,
orang-orang yang mengaku dirinya nabi atau rasul, dan orang yang enggan
membayar zakat (ketika Umayyah bergabung dengan khalifah Abu Bakar
Ash-Shidiq).
2. Proses dan sebab-sebab berdirinya Dinasti Bani Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah
Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan
pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap
terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk
para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin
Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib
untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan
itu di pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib
mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para
tokoh besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat
lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia
(bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H.
Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya.
Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak
diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin
Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat
madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah ternyata
ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah
bin Abi Sufyan gubernur Syiria dan Marwan bin Hakam yang ketika pada
masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa
Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang
bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi
Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak
yang berujung pada pertempuran di Shiffin 38 H/657 M. Muawiyah tidak
menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat
muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah
mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman.
Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus
mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala
perintahnya.
Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga karena ada berita bahwa Ali
akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang
diangkat Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi
Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah
Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat
pembunuhan tersebut untuk dihukum.
Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah
pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di
dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga
melibatkan pihak dari beberapa daeraha seperti Kuffah, Bashrah, dan
Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan
ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti
Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan
politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan
Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah
untuk bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah.
Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik
yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan,
munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu
karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis
tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik
kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat
itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan dan Husain serta para
shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan
melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi
kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari
kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani
Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka
berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan
menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Kemelut yang di hadapi khalifah Utsman bin Affan sebenarnya telah
tercium jauh-jauh hari sebelumnya. Bahkan dengan perantara kurir bernama
Mussawir bin Makharramah, pesan dari khalifah Utsman bin Affan ini
tidak dilaksanakan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan yang datang dikawal oleh
dua orang kepercayaannya yaitu Muawiyah bin Khudaj dan Muslim bin Uqbah
serta menyarankan agar khalifah Utsman pindah ke Syam dengan alasan
karena ia akan di kelilingi oleh orang-orang Muawiyah yang setia.
Usulan yang diajukan Muawiyah ini tidak diterima oleh khalifah Utsman
bin Affan yang berpendapat bahwa Madinah adalah ibukota kekhalifahan dan
masih banyak para shahabat yang setia serta disana pula ada makam Nabi.
Sebelum menguraikan sejarah sejarah lebih lanjut tentang prose
terbentuknya Dinasti Umayyah ini, terlebih dahulu marilah kita tengok
proses terbentuknya kejadian yang menyebabkan proses terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga setelah wafatnya
Rasulullah saw.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak
menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya
sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir,
Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil
dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidak puasan
ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka
menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan
para pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang
utusan istana yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi
perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh
Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin
Abu Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad
yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh
khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang mengancam nyawa para
shahabat.
Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju
rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas
system pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme.
Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segeras menuntut
khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan semakin
rumit dan kompleks , sehinggatidak mudah untuk di selesaikan
secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan
langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah,sehingga khalifah Utsman
terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Meninggalnya khalifah Utsman bin Affan pada tahun 35 H/656 M dan
terpilihnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah baru sangat
mengguncangkan keluarga Bani Umayyah. Mereka berusaha mencari informasi
siapa pembunuh Utsman sebenarnya dan mereka akan menuntut kematian
khalifah dengan cara melakukan balas dendam.
Akhirnya mereka mendapat informasi bahwa orang yang patut di curigai
membunuh khalifah Utsman bin Affan adalah Muhammad bin Abu Bakar. Mereka
menuntut khalifah Ali bin Abi Thalib agar Muhammad bin Abu Bakar segera
di tangkap dan di adili. Tuntutan itu tentu saja tidak segera
dikabulkan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib, karena tuntutan itu tidak
jelas maka khalifah Ali bin Abi Thalib menolak tuntutan yang di ajukan
oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.
Tuduhan yang di arahkan kepada Muhammad bin Abu Bakar dan khalifah Ali
bin Abi Thalib sebenarnya menjatuhkan kekuasaan khalifah yang sah.
Keadaan ini jelas sangat jauh berbeda dengan gaya kepemimpina khalifah
Ali bin Abi Thalib yang tegas, lugas, dan jujur.
B. USAHA UNTUK MEMPEROLEH KEKUASAAN
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib karena terbunuh oleh kelompok
khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam pada tahun 661 M menimbulkan
dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para
pengikut setia Ali. Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan
para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas
diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin
Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang
melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang
tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali
mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh
umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib
Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata
tetap saja tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan
para pendukungnya. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah
sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam
dunia Islam.
Perdebatan apapun yang terjadi pada saat itu, yang jelas realitas
politik menunjukkan bahwa sepeninggalan Ali bin Abi Thalib, sebagian
penduduk besar Kuffah, Bashrah dan Madinah sudah melakukan sumpah setia.
Inilah yang menjadi puncak-puncak persoalan politik Islam setelah
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Muawiyah bin Abi Sufyan yang tidak
menyayangi keputusan pengangkatan Hasan bin Ali segera menyusun kekuatan
khalifah Hasan.
Mendengar rencana yang telah dilakukan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan
tersebut, maka Qays bin Sa’ad dan Abdullah bin Abbas menyarankan kepada
Hasan untuk melakukan penyerangan ke Damaskus. Sebelum pasukan Muawiyah
menyerang, stategi yang dilakukan Muawiyah yang melakukan urat saraf
(psywar) ini memang sangat efektif. Menurut sejarawan Muslim Al-Thabari,
karena kecewanya para pendukung Hasan atas perhentian perang
menyebabkan mereka melakukan tindakan kekerasan dengan menyerbu masuk
kerumah Hasan dan merusak kehormatan serta merampas harta bendanya.
Untuk mengetahui persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak
mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk
itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabiyang berisi
pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia
menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antara lain:
1. Muawiyah menyerahkan harta Baitul mal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
2. Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalin besertas keluarganya.
3. Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
4. Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan
(kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan
pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
5. Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz,
dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi
Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang
shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan
isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk
menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus
orang-orang kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi
Syama.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan
dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai
pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih
cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi
dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga
kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah
sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam
berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah
(661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya
kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan
kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai
berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi”
untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka.
C. GAYA DAN CORAK KEPEMIMPINAN MUAWIYAH BIN ABI SUFYAN
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M)
berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih
secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis
sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh
penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu
kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Hal itu, karena
proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara
demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan
dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari
tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan
prinsif dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan
dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan
berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara
mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi
Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi
Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk
penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi
karena Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan system kerajaan
dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan
kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran
Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik
politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi dada masa-masa
sebelumnya. Sistem pemerintahan yang diterapkan Muawiyah meniru sistem
pemerintahan kerajaan Romawi dan Persia yang mewariskan.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah
meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk
mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian
memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at)
dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa
seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran
permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selama masa pemerintahan demokratis Khulafaur Rasyidin, para khalifah
selalu di dampingi oleh dewan penasihat yang terdiri dari para pemuka
Islam. Seluruh kebijakan yang penting selalu di musyawarahkan secara
terbuka. Bahkan rakyat biasa mempunyai hak untuk menyampaikan
pertimbangan dalam pemerintahan. Kebebasan berpendapat dan kebebasan
menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah merupakan corak yang
sangat menonjol dalam pola pemerintahn Khulafaur Rasyidin.
Tradisi musyawarah dan menyampaikan pendapat ini tidak berlaku dalam
pemerintahan Bani Umayyah. Dewan permusyawaratan dan dewan penasihat
tidak berfungsi secara baik. Kebebasan melakukan kritik terhadap
kebijakan pemerintah tidak diperbolehkan. Hal itu terjadi karena
penguasa Bani Umayyah benar-benar telah menganggap dirinya sebagai raja
yang tidak dipilih dan diangkat oleh rakyat dan rakyat tidak dibolehkan
melakukan kritik.
Ajaran dan usaha nabi Muhammad saw yang telah menghapuskan fanatisme
kesukuan tidak dapat dipertahankan pada masa Bani Umayyah. Mereka
memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu dengan memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada kelompok tersebut dan menutup
kesempatan kelompok lain.
Pada masa pemerintahan Khulafaur arasyidin sangat serius dan peduli
terhadap tanggung jawab dan tugas mereka. Mereka sering keluar malam
untuk melihat keadaan masyarakat yang sebenarnya. Mereka menjalani hidup
dan tugas-tugas sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Mereka tidak
membangun gedung/istana megah. Tidak ada pengawalan khusus bagi para
khalifah. Sementara para penguasa Bani Umayyah hidup dalam kemewahan dan
dijaga ketat oleh pengawal, karena merka khawatir keamanan diri mereka.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa
pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah
Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal
berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, diman setiap warga Negara
memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak
pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya
menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani
Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M). Berikut nama-nama ke 14
khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
2. Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
3. Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4. Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6. Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9. Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11. Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12. Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)
C. PRESTASI DINASTI BANI UMAYYAH
1. Perkembangan bangunan berupa fisik
a. Kordova
Kota ini terletak di sebelah selatan lereng gunung Sierre de Cordova dan
di tepi sungai Guadalquivir. Sebelum Spanyol ditaklukkan oleh tentara
Islam tahun 711 M, Kordova adalah ibukota kerajaan Kristen Visigoth,
sebelum dipindahkan ke Toledo. Penaklukan Spanyol oleh pasukan Islam
terjadi pada masa khalifah Al-Wahid banal-Malik, di bawah pimpinan
Tarikh bin Ziyad dan Musa bin Nusair. Di bawah pemerintahan kerajaan
Visigoth, Kordova yang sebelumnya makmur menjadi mundur. Kemakmurannya
bangkit kembali di masa kekuasaan Islam. Pada tahun 756 M, kota ini
menjadi ibu kota dan pusat pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, setelah
Bani Umayyah di Damaskus jatuh ke tangan Bani Abbas tahun 750 M.
Penguasa Bani Umayyah pertama di Spanyol adalah Abd Al-Rahman Al-Dakili.
Kekuasaan Bani Umnayyah di Andalusia ini berlangsung dari tahun 756 M
sampai 1031 M.
Pada zaman pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, Kordova menjadi pusat
ilmu pengetahuan. Di kota itu berdiri Universitas Kordova. Banyak ilmuan
dari dunia Islam bagian timur yang tertarik untuk mengajar di
universitas ini. Di samping itu, di kota ini terdapat sebuah
perpustakaan besar yang mempunyai koleksi buku kira-kira 400.000 judul.
Daftar bagian dari buku-buku itu terkumpul dalam 44 jilid buku. Kemajuan
ilmu pengetahuan disana tidak terlepas dari dua orang khalifah pencinta
ilmu, Abd Al-Rahman Al-Nashir dan anaknya Al-Hakam. Yang disebut
terakhir ini memerintahkan untuk mencari dan membeli buku-buku ilmu
pengetahuan, baik klasik maupun kontemporer. Bahkan, ia ikut langsung
dalam pengumpulan buku itu. Ia menulis surat kepada penulis-penulis
terkenal untuk mendapatkan karyanya dengan imbalan yang tinggi. Pada
masanyalah tercapai apa yang dinamakan masa keemasan ilmu pengetahuan
dan sastra Spanyol Islam.
b. Granada
Kota Granada terletak di tepi sungai Genil di kaki gunung Sierra Nevada,
berdekatan dengan pantai laut mediterania (Laut Tengah). Granada semula
adalah tempat tinggal Liberia, kemudian menjadi kota orang Romawi dan
baru terkenal setelah ada di tangan orang Islam. Kota ini berada di
bawah kekuasaan Islam hampir bersamaan dengan kota-kota lain di Spanyol
yang ditaklukkan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Tarikh bin
Ziyad dan Musa bin Nushair tahun 711 M. Pada masa pemerintahan Bani
Umayyah di Spanyol, kota ini disebut Andalusia Atas.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Andalusia, Granada mengalami
perkembangan pesat. Setelah Bani Umayyah mengalami kemunduran tahun 1031
M, dalam jangka waktu 60 tahun, Granada diperintah oleh dinasti
setempat, yaitu dinasti Zirids. Setelah itu Granada jatuh kebawah
pemerintahan Al-Murabithun, sebuah dinasti Barbar dari Afrika Utara pada
tahun 1090 M. Al-Murrabithun berkuasa disana sampai tahun 1149 M. Pada
masa pemerintahannya, banyak istana dibangun disana.
2. Perkembangan Politik
a. Kemajuan-kemajuan yang dicapai bidang politik
b. Kemajuan-kemajuan yang dicapai di bidang ilmu pengetahuan
1) Kemajuan Intelektual
2) Kemajuan di bidang Filsafat
a) Kemajuan dalam ilmu agama yang disebut Al-Ulum Islamiyah
-Ilmu qiraat
-Ilmu Tafsir
-Ilmu Hadits, dll
b) Kemajuan dalam ilmu pengetahuan umum yang disebut Al-Ulumud Dakhliyah
-Ilmu Kimia
-Ilmu Kedokteran
-Ilmu Bumi (geografi)
-Ilmu Astonomi
c) Bidang Seni
-Seni Sastra
-Seni Lukis
-Seni Ukir
-Seni Pahat, dll
D. KERUNTUHAN BANI UMAYAH
1. Faktor Internal
Beberapa alasan mendasar yang sangat berpengaruh terhadap keruntuhan
Dinasti Umayah adalah karena kekuasaan wilayah yang sangat luas tidak
dibarengi dengan komunikasi yang baik, sehingga menyebabkan suatu
kejadian yang mengancam keamanan tidak segera diketahui oleh pusat.
Selanjutnya mengenai lemahnya para khalifah yang memimpin. Di antara
empat belas khalifah yang ada, hanya beberapa saja khalifah yang cakap,
kuat, dan pandai dalam mengendalikan stabilitas negara. Selain itu, di
antara mereka pun hanya bisa mengurung diri di istana dengan hidup
bersama gundik-gundik, minum-minuman keras, dan sebagainya.
Situasi semacam ini pun mengakibatkan munculnya konflik antar golongan,
para wazir dan panglima yang sudah berani korup dan mengendalikan
negara.
2. Faktor Eksternal
Intervensi luar yang berpotensi meruntuhkan kekuasaaan Dinasti Umayah
berawal pada saat Umar II berkuasa dengan kebijakan yang lunak, sehingga
baik Khawarij maupun Syiah tak ada yang memusuhinya. Namun, segala
kelonggaran kebijakan-kebijakan tersebut mendatangkan konsekuensi yang
fatal terhadap keamanan pemerintahannya. Semasa pemerintahan Umar II
ini, gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh Bani Abbas mampu berjalan
lancar dengan melakukan berbagai konsolidasi dengan Khawarij dan Syiah
yang tidak pernah mengakui keberadaan Dinasti Umayah dari awal. Setelah
Umar II wafat, barulah gerakan ini melancarkan permusuhan dengan Dinasti
Umayah.
Gerakan yang dilancarkan untuk mendirikan pemerintahan Bani Abbasyiah
semakin kuat. Pada tahun 446 M mereka memproklamirkan berdirinya
pemerintah Abbasyiah, namun Marwan menangkap pemimpinnya yang bernama
Ibrahim lalu dibunuh. Setelah dibunuh, pucuk gerakan diambil alih oleh
seorang saudaranya bernama Abul Abbas as-Saffah yang berangkat
bersama-sama dengan keluarganya menuju Kuffah. Abbasyiah berkewajiban
untuk menundukkan dua kekuasaan Bani Umayah yang besar, yang satu
dipimpin oleh Marwan bin Muhammad dan satu lagi oleh Yazid bin Umar bin
Hubairah yang berpusat di Wasit. Kedudukan kerajaan Abbasyiah tidak akan
tegak berdiri sebelum khalifah-khalifah Umayah tersebut dijatuhkan
terlebih dahulu.
As-Saffah mengirim suatu angkatan tentara yang terdiri dari laskar
pilihan untuk menentang Marwan, dan mengangkat pamannya Abdullah bin Ali
untuk memimpin tentara tersebut. Antara pasukan Abdullah bin Ali dan
Marwan pun bertempur dengan begitu sengitnya di lembah Sungai Dzab, yang
sampai akhirnya pasukan Marwan pun kalah pada pertempuran itu.
Setelah kekalahan itu, Marwan pun tak kuasa lagi menyusun kekuatan,
sehingga negeri Syam pun satu demi satu jatuh ke tangan Abbasyiah.
Ketika Syam ditaklukkan, Marwan melarikan diri ke Palestina dan berujung
pada mautnya di daratan Mesir. Marwan tewas dipenggal kepalanya oleh
pasukan Abbasyiah lalu dibawanya ke hadapan Khalifah Abu Abbas as-Saffah
lantas bersujud.
Sepeninggal Marwan, maka benteng terakhir Dinasti Umayah yang diburu
Abbasyiah pun tertuju kepada Yazid bin Umar yang berkududukan di Wasit.
Namun, pada saat itu Yazid mengambil sikap damai setelah mendengar
berita kematian Marwan. Di tengah pengambilan sikap damai itu lantas
Yazid ditawari jaminan keselamatan oleh Abu Ja’far al-Mansur yang
akhirnya Yazid pun menerima baik tawaran tersebut dan disahkan oleh
as-Saffah sebagai jaminannya. Namun, ketika Yazid dan
pengikut-pengikutnya telah meletakkan senjata, Abu Muslim al-Khurasani
menuliskan sesuatu kepada as-Saffah yang menyebabkan Khalifah Bani
Abbasyiah itu membunuh Yazid beserta para pengikutnya.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dengan latar belakang keluarga Umayah yang sangat lihai dalam urusan
politik pada masa jahiliyah, keberadaan Muawiyah sebagai khalifah
pertama Dinasti Umayah di tengah-tengah masyarakat muslim kala itu
sangatlah banyak menuai berbagai kecaman dari berbagai kalangan di
bawahnya.
Beberapa golongan dengan terang-terangan menentang dan tidak mengakui kedaulatan Bani Umayah ini sebagai kedaulatan yang Islami.
Hal itu terbukti dengan kinerja Muawiyah dalam membangun Dinastinya yang
mendiskreditkan keberadaan Syiah (pengikut Ali), dengan mengambil
sebuah tindakan untuk membunuh mereka semua, sekalipun masih dicurigai.
Ditambah lagi dengan ulah khalifah penerusnya yang kebanyakan tak
bermoral.
Terhitung hanyalah beberapa khalifah saja yang berkompeten dalam
memangku jabatan khalifah yang disematkan kepada mereka. Dengan
kecakapan, kepandaian, dan kepiawaian mereka dalam memimpin, mereka
mampu menghadirkan berbagai kemajuan dengan sebuah pencapaian gemilang
yang sangat berarti bagi perkembangan Islam waktu itu.
Namun, sikap amoral yang ditunjukan oleh khalifah-khalifah yang tak
bertanggung jawab dalam mengemban amanat, membuat kedaulatan Bani Umayah
berada pada ambang kehancuran. Ketidak sigapan sistem keamanan
menangkal intervensi luar, memudahkan berbagai serangkaian usaha untuk
melancarkan kudeta. Sampai akhirnya Dinasti Umayah pun jatuh ditumpas
Abbasyiah.
DAFTAR PUSTAKA
Dedi Supriadi, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: CV Pustaka Setia
Amrullah, Kusyana, 1995, Sejarah Kebudayaan Islam, Bandung: CV Armico
Tatang Ibrahim. 2008. Sejarah Kebudayaan Islam. Bandung: CV Armico
http://id.wikipedia.org